Dalam perjalanan sejarah manusia, bahwa fungsi dan arti air sangat penting dalam membangun sebuah peradaban. Peradaban bisa diartikan sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih halus dari kebudayaan. Tercatat dalam sejarah dunia bahwa seluruh peradaban tertua dan terbesar manusia di dunia ini pada awalnya dialiri air sebagai sumber daya Renting yang mereka butuhkan untuk membangun peradaban tersebut. Wilayah yang dialiri air menjadikan tanah disekitamya sangat subur sehingga manusia yang awalnya berpindah-pindah tempat (nomaden) mulai hidup menetap dengan bercocok tanam dan membangun peradaban.
Peradaban dunia yang kita kenal selama ini seperti, peradaban Mesopotamia yang hingga kini dipercayai sebagai peradaban manusia tertua di dunia. Mesopotamia tumbuh berkembang pada dua buah sungai yang sangat terkenal yaitu, sungai Eufrat dan sungai Tigris. Kehadiran kedua sungai tersebut dimanfaatkan untuk irigasi pertanian hingga surplus pangan tercatat pada masa itu. Peradaban ini kemudian menjadi asal mula tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar seperti Babylonia.
Peradaban tertua lainnya pun tidak lepas dari peran kehadiran air di wilayahnya. Seperti Peradaban Sungai Nil yang menjadi peradaban Mesir Kuno hingga mampu membangun Piramida yang hingga kini berdiri dengan agungnya. Di Asia Selatan disana tumbuh peradaban India Kuno di sekitar aliran Sungai Indus yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Sedangkan di wilayah Asia, tepatnya China Kuno mengawali peradaban mereka dari lembah Sungai Yangtze atau Sungai Kuning yang membangun kebudayaan Neopolitik tertua di China. Air yang mengalir di tengah- tengah peradaban tersebut memiliki nilai penting yang menjadikan tanah subur, sumber sanitasi dan irigasi yang menghidupi masyarakatnya. Peradaban macam apa yang tidak menyadari arti penting dari ketersediaan air dan manfaat dari setiap air yang mengalir?
Di wilayah Indonesia, peradaban maju dan kerajaan-kerajaan besar telah didirikan dipinggir sungai yang terhubung dengan laut lepas, itu sebabnya kerajaan seperti Majapahit yang sangat terkenal dengan peradabannya itu tidak terlepas dari orientasi terhadap air. Kerajaan besar Majapahit dibangun di sekitar sungai Brantas, di Jawa Timur, kerajaan Kutai di sungai Mahakam di Kalimantan, kerajaan Sriwijaya di sekitar sungai Musi di Sumatera. Kerajaan-kerajaan besar di Bali seperti kerajaan Singhamandawa dibangun di sekitar sungai Pakerisan, kerajaan Gelgel juga dibangun sekitar sungai dan dekat dengan laut.
Pemilihan tempat untuk pemukiman seperti Puri dan Gria juga senantisasa memperhatikan keberadaan air di tempat itu. Pembanguan kerajaan dan puri itu juga berkaitan dengan dibangunnya beberapa taman air seperti Taman Ayun, Taman Tirta Gangga, Taman Sukasada, Taman Begenda di Gelgel, Taman Bali di Bangli dan juga beberapa taman yang dibangun disekitar pusat kerajaan-kerajaan yang lebih kecil diseluruh Bali. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa air sudah menjadi bagian yang integral dalam pembangunan kehidupan dan peradaban manusia.
Demikian juga dalam beberapa teks sastra (seperti yang dikutip Suamba:2017) disebutkan adanya Saptadvipa (tujuh pulau), yaitu, Jambudvipa, Sankhadvipa, Kusadvipa, Krauncadvipa, Salmalidvipa, Gomedhadvipa, dan Puskaradvipa; Saptaparvata (tujuh gunung), yaitu (1) Kula parwata, (2) Aranya parwata, (3) Hiranya parwata, (4) Ela parvata, (5) Hari Parvata, (6) Kinnara parwata, dan (7) Bharata parwata; Sapta samudra (tujuh samudra), yaitu (1) Lavana (lautan garam), (2) Ksira (susu), (3) Dadhi (susu asam), (4) Sarpi (mentega), (5) Iksu (air tebu), (6) Sura (alkohoi), (7) Svadu (endapan air tebu); Sapta Tirtha (tujuh sungai suci), yaitu (1) Narmada, (2) Sindhu, (3) Gangga, (4) Saraswati, (5) Airawati , (6) Sresthanadi, (7) Sivanadi. Dalam konteks ini dimaknai bahwa air tidak semata-mata fisik tetapi juga spiritual, kedua hal ini sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia di dunia ini dalam membangun peradabannya.
Beberapa upacara besar juga dikenal dan dilaksanakan oleh uniat Hindu seperti Dana Kirthi, Samudra Kirthi yang merupakan bagian dari Sad Kirthi. Secara lebih spesipik dikenal juga Upacara Candi Narmada, upacara ini merupakan rangkaian dari upacara Eka Dasa Rudra, Tri Bhuwana dan Eka Bhuwana. Upacara ini dilaksanakan di pantai Klotok (Klungkung). Makna dari upacara ini adalah ‘Nyegjegang Sang Hyang Samudra Kata’. Nyegjegang artinya menegakkan kembali, dalam arti mengingatkan kita agar menegakkan kembali fungsi sumber air terbesar (laut). Air itulah sumber hidup manusia, air menyebabkan hidupnya tumbuh-tumbuhan dan tumbuh-tumbuhan sumber makanan manusia. Demikian juga bahwa samudra dianggap memiliki kekuatan untuk melebur segala kotoran di dunia ini. Ketika upacara ini dilaksanakan maka semua desa adat yang ada di Bali (1371) juga melaksanakan upacara yang sama yaitu melasti ke laut. Upacara ini terakhir dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 1993.
Manajemen Pengelolaan
Dari waktu ke waktu sumber daya air bersih makin berkurang akibat pertambahan penduduk, dan juga perilaku manusia yang tidak ramah dengan lingkungan. Air bersih juga terpolusi oleh kurang lebih dua juta ton sampah setiap hari. Polusi ini muncul dari kegiatan sektor industri, kotoran manusia, dan kegiatan sektor pertanian.
Apabila setiap tanggal 22 Maret setiap tahun mungkin tak memberi arti apa-apa bagi kita. Kita masih merasa hidup di daerah yang berlimpah air sehingga tanggal itu lewat begitu saja. Apalagi rumah kita telah tersambungkan dengan pipa air yang memudahkan dan seolah-olah air itu tidak penting. Seharusnya pada tanggal itu, kita sebagai warga Indonesia maupun warga dunia tersadarkan bahwa ketersediaan air mulai bermasalah. Tanggal itu merupakan Hari Air Sedunia (World Water Day).
Kita harus menyadari kalau ketersediaan air telah mengancam kesehatan masyarakat, mengancam stabilitas politik, dan juga mengancam lingkungan. Peringatan ini muncul dalam World Water Development Report (WWDR), sebuah laporan PBB mengenai ketersediaan air bersih dunia yang diluncurkan pada Third World Water Forum, beberapa tahun yang lalu.
Banyak perkembangan yang teijadi dengan air pada dekade ini. Air tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai sosial, religius, kultural, lingkungan, dan politik. Konsep keadilan dalam penggunaan air adalah memaksimalkan penggunaan air untuk kepentingan semuanya, sambil menyediakan akses untuk penduduk dan meningkatkan penyediaan air bersih.
Krisis air sebenarnya adalah krisis pengelolaan. Gabungan dari krisis ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Pengelola air akan berhadapan dengan situasi yang kompleks dan tidak menentu. Mereka harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam mendapatkan air. Kita harus banyak belajar kepada daerah-daerah yang sejak awal secara mentradisi mengalami masalah kekurangan air, kekeringan seperti, Karangasem, Buleleng, Bangli, Nusa Penida tentang strategi adaptatif yang mereka kembangkan di dalam mengatasi kekurangan air, serta usaha untuk menghormati tradisi dan kearifan lokal terhadap air.
Oleh: Ida Bagus Dharmika
Source: Majalah Wartam, Edisi 31, September 2017